Beragama karena ketakutan, mungkin itu salah satu alasan kuat yang ada di balik berbagai macam praktek agama. Neraka, dosa, penderitaan, lahir di alam bawah, kepongor, bencana, Tuhan yang murka, itulah sebagian gambaran yang dibuat agar manusia serius melaksanakan agama.
Dulu, ketika kebanyakan manusia masih lugu, banyak yang ikut saja perintah agama dan tradisi. Sekarang, ketika pendidikan rata-rata sudah meninggi, akses pengetahuan mudah dan murah, sebagian manusia menjauh dari institusi agama justru karena ditakut-takuti.
Di Barat kelompok non believer menaik terus. Sebagian anak muda yang berpendidikan tinggi, mulai menjaga jarak dengan agama yang menakut-nakuti. Tidak saja karena tidak masuk di logika, namun juga tidak kena di rasa. Penekun spiritual yang dalam di Barat mulai banyak yang meyakini the supremacy of compassion over religion. Bila harus memilih antara menyayangi semua mahluk atau memilih agama, mereka memilih menyayangi.
Cahaya Dukacita
Salah satu hal yang amat dibenci manusia dari dulu hingga sekarang adalah dukacita. Ia identik dengan sampah yang serba negatif: salah, kualat, dosa, kepongor, sial, dihukum Tuhan dll.
Padahal sejarah panjang bertutur lain. Panca Pandawa dalam epos Mahabharata menjadi bercahaya karena disakiti Kurawa. Mahatma Gandhi tidak saja menerangi umat Hindu, juga menerangi umat manusia secara lintas agama dan lintas zaman. Dan Gandhi bisa bercahaya seperti itu salah satunya karena ditembak. Yesus Kristus adalah cerita cahaya yang juga lahir dari dukacita. Andaikan Yesus tidak disalib, mungkin ceritanya lain. Jalalludin Rumi demikian dikagumi karena pernah mengalami kesedihan mendalam berupa kehilangan guru. John Lennon karya-karyanya demikian menggetarkan. Dan sebagaimana dicatat sejarah, ia juga ditembak.
Dari lentera-lentera seperti ini, jelas sekali terlihat dukacita tidak selalu merupakan hukuman Tuhan. Dalam cerita banyak orang suci, dukacita membawa dampak pemurnian yang besar sekali. Pertama, ia mendorong manusia untuk sujud, hormat, rendah hati di depan kehidupan. Ujung-ujungnya, dukacita memurnikan penghalang-penghalang karma sebelum pulang ke rumah kematian. Tidak kebayang congkaknya manusia tanpa dukacita.
Kedua, rasa sakit kerap menghadirkan daya paksa yang besar pada manusia untuk menggali semakin dalam dan semakin dalam. Makanya ada yang menulis: “The best spiritual incentives are obstacles, problems, sufferings”. Bonus dan hadiah spiritual terbaik adalah halangan, masalah, penderitaan. Tidak ada pertumbuhan spiritual tanpa rintangan. Lari dari rintangan sesungguhnya lari dari pertumbuhan.
Kehidupan manusia mengagumkan seperti Gandhi, Yesus dan Rumi memberikan pelajaran, dukacita membuka cahaya agar ajaran dikenang dalam waktu lama. Makanya, pencinta-pencinta Tuhan yang dalam mengagumkan berbisik, dalam kesedihan juga ada Tuhan, bahkan wajah Tuhan yang lebih dalam. Pencari di jalan Buddha yang sudah mengalami realisasi tingkat tinggi meyakini, semuanya (termasuk duka cita) adalah Buddha. Itu sebabnya ketika pangeran Siddharta pertama kali keluar istana, guru simbolik memberi pelajaran pertama berupa dukkha
- Gede Prana -
UNTUK JADI CAHAYA AKU NGGAK MAU HARUS LEWAT DUKA CITA.....MANUSIAWI SEKALI DONK
BalasHapusTuhan yang akan memberikan jalan , yang kita tdk tahu apa yang akan terjadi besok.
BalasHapusberkah dalem...........
BalasHapus