Selasa, 02 Februari 2016

BERJUMPA CAHAYA

BERJUMPA CAHAYA

11 Dec 2015

Seorang anak muda bertanya secara menyentuh hati seperti ini: “bila Guru sejati hanya menerangi jiwa-jiwa dengan tabungan karma baik yang berlimpah, lantas siapa yang menerangi manusia-manusia gelap yang penuh dengan kekurangan?”.
Sejujurnya, di setiap putaran waktu ada cahaya. Sayangnya, banyak manusia yang tertutup oleh sejumlah penghalang. Akibatnya, mereka mengira kalau jiwa mereka tidak ada yang menerangi. Mirip dengan cahaya di alam. Saat siang ada matahari. Ketika malam ada bintang dan bulan.
Di Tantra khususnya dikenal tiga jenis penghalang untuk berjumpa cahaya. Ada penghalang luar seperti tubuh, pikiran dan perasaan. Ada penghalang dari dalam berupa tubuh halus yang dikenal dengan istilah nadi (saluran energi), prana (energi), bindu (esensi atau inti). Serta penghalang rahasia berupa dualitas yang tetap (dualistic fixation).

Meditasi yang umumnya diajarkan untuk konsumsi publik hanya bisa menembus penghalang-penghalang luar saja. Sedangkan penghalang dari dalam, lebih-lebih penghalang rahasia hanya bisa ditembus oleh praktik-praktik Tantra yang mendalam. Sayangnya, tidak boleh membuka rahasia-rahasia Tantra kepada sembarang orang.
Untuk konsumsi publik, ada tiga jembatan berjumpa cahaya. Jembatan panjang yang pertama bernama meditasi. Mirip dengan cahaya listrik yang muncul sebagai akibat sintesa negatif-positif, meditasi juga serupa. Melalui ketekunan menyaksikan, menyaksikan dan menyaksikan, seseorang sesungguhnya sedang mensintesakan unsur negatif-positif yang ada di dalam diri.
Jembatan ke dua yang lebih pendek bernama pelayanan. Asal tekun dan tulus melakukannya, pelayanan juga bisa menghantar seseorang berjumpa cahaya. Salah satu puisi Upanishad berbunyi seperti ini: “Lama saya tersesat dalam pencarian. Saya menemukan kembali diri saya dalam pelayanan. Tatkala pelayanan didalami, ternyata yang melayani dan yang dilayani sama”. Inilah bentuk perjumpaan dengan cahaya melalui pelayanan.
Jembatan terpendek tapi penuh rintangan bernama rasa sakit. Di zaman ini, nyaris semua orang suci berjumpa cahaya menggunakan jembatan bernama rasa sakit. Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, YM Dalai Lama kehilangan negerinya di umur 15 tahun, Bunda Teresa menghabiskan puluhan tahun hidupnya di tengah rasa sakit kota Kalkuta, Mahatma Gandhi bahkan wafat tertembak.
Bedanya dengan orang biasa yang lari ketakutan saat dikunjungi rasa sakit, orang-orang yang menemukan cahaya di jalan ini belajar sujud dan hormat di depan rasa sakit. Ia mirip dengan sujud hormat kepada Guru sejati yang sangat dihormati.
Indahnya rasa sakit, ia tidak saja membuat seseorang membayar lunas hutang-hutang karmanya, tapi juga membuat jiwa jadi termurnikan sekaligus tersempurnakan. Penyair besar Kahlil Gibran berjumpa cahaya yang ia pancarkan melalui mahakaryanya “Sang Nabi” saat beliau dalam kesedihan mendalam.
Sekarang kembali pada kekokohan seseorang di dalam. Jika seseorang labil, keropos, mudah jatuh, meditasi adalah jalan berjumpa cahaya yang paling aman. Manakala Anda kokoh, kuat, tekun, tulus di dalamnya, jembatan rasa sakit adalah jembatan yang disarankan untuk berjumpa cahaya.
Author: Gede Prama.
Photo Courtesy: Twitter @thisthatperhaps

1 komentar: