Minggu, 22 Februari 2015

Sekolah Membunuh Kreativitas ( “Schools Kill Creativity”) - Sir Ken Robinson


Semua anak memiliki bakat luar biasa dan kita lah yang menekannya.

>> Kreativitas sama pentingnya dengan literasi dalam pendidikan dan kita harus memperlakukannya dengan status yang sama.

>> Anak-anak akan mengambil kesempatan. Kalau mereka tidak tahu, mereka akan mencoba. Mereka tidak takut menjadi salah. Bukan berarti menjadi salah itu sama dengan menjadi kreatif. Namun, kalau kita tidak siap menjadi salah, kita tidak akan pernah memunculkan sesuatu yang baru. Saat menjadi dewasa, anak-anak telah kehilangan kapasitas ini. Mereka takut menjadi salah. Kita memberikan stigma buruk pada “kesalahan”. Dalam sistem pendidikan kita, kesalahan adalah hal terburuk yang bisa dilakukan oleh seorang siswa. Akhirnya kita mendidik anak keluar dari kreativitas.

>> Picasso menyatakan bahwa seluruh anak lahir sebagai artis (penuh kreativitas). Masalahnya adalah bagaimana untuk tetap menjadi kreatif. Kita tidak tumbuh menjadi kreatif, malah sebaliknya, kita tumbuh menjadi tidak kreatif, atau lebih tepatnya, kita dididik keluar dari kreativitas.

>> Sistem pendidikan di seluruh dunia memiliki hierarki subjek yang sama. Matematika dan Bahasa menempati peringkat tertinggi. Sedangkan Ilmu-ilmu Kemanusiaan serta Seni menempati peringkat terbawah. Di dalamnya pun masih ada sub hierarki. Dalam subjek Seni misalnya, Seni Lukis dan Musik menempati peringkat yang lebih tinggi daripada Drama dan Tari. Kita tidak pernah mengajarkan Tari kepada anak-anak seperti kita mengajarkan Matematika kepada mereka. Mengapa harus demikian? Matematika sungguh penting, namun demikian juga Tari. Bukankah anak-anak selalu menari setiap saat?

>> Saat anak-anak menjadi dewasa, secara bertahap kita hanya berfokus dari pinggang ke atas saat mendidik mereka, kemudian kita hanya berfokus kepada kepalanya saja, dan itupun hanya satu sisi saja (maksudnya otak kiri, yang memiliki spesialisasi berpikir logis dan matematis).

>> Bila kita ingin netral dan objektif melihat sistem pendidikan seperti apa adanya, kita harus menilainya dari output yang dihasilkan. Siapa yang bisa sukses dalam sistem pendidikan kita? Anak-anak seperti apa yang selalu mendapat nilai bagus? Siapa yang menjadi pemenang? Bila melihat hal-hal tersebut, kita terpaksa menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan publik adalah untuk mencetak profesor dan dosen-dosen universitas. Mereka lah yang selalu mendapat nilai bagus dalam pendidikan publik. Tentu tidak ada yang salah dengan para profesor (Sir Ken Robinson lalu menyebutkan bahwa dia sendiri juga profesor perguruan tinggi), namun tentu mereka tidak bisa dijadikan satu-satunya benchmark bagi kesuksesan manusia.

>> Sistem pendidikan kita dibuat untuk berdasar konsep kemampuan akademis, dan ada alasan untuk hal ini. Seluruh sistem pendidikan publik di dunia ini diciptakan sekitar abad ke-19, untuk memenuhi kebutuhan industrialisme. Jadi sistem pendidikan dibuat dengan dua ide dasar. Pertama, subjek-subjek yang akan berguna dalam pekerjaan akan diletakkan di prioritas pertama. Itulah sebabnya pada masa-masa industrialisme abad ke-19 dan abad ke-20 anak-anak selalu dihambat mengambil subjek-subjek yang “tidak penting” untuk pekerjaan oleh orang tuanya.

Misalnya, dilarang mengambil seni musik karena dianggap musisi itu bukan pekerjaan, jangan jadi artis, dll. Ini adalah konsep yang mungkin bisa efektif dahulu, namun sekarang sangat salah bila melihat revolusi yang terjadi di dunia. Kedua, kemampuan akademis dianggap sebagai 
parameter utama dalam menilai kecerdasan.

 Para pakar yang duduk di perguruan tinggi lah yang turut bertanggung jawab karena mendesain sistem pendidikan publik sesuai dengan citra diri mereka sendiri. Seluruh sistem pendidikan di dunia ini didesain secara top down sebagai persiapan ujian masuk ke perguruan tinggi.

 Konsekuensinya, banyak anak yang sebenarnya berbakat luar biasa telah menyangka bahwa mereka tidak cerdas setelah melewati sistem pendidikan publik, karena hal-hal yang bisa mereka lakukan dengan luar biasa ternyata tidak dianggap penting di sekolah dan bahkan mendapat stigma buruk. Kita tidak boleh membiarkan ini terus terjadi.

1 komentar:

  1. Sebagai contoh fenomena pendidikan di Indonesia sbb:
    Di kantor saya banyak dokter mengatakan bahwa mereka masuk sekolah kedokteran hanya untuk menyenangkan hati orang tua, sehingga tidak dapat menikmati dan meresapi pekerjaannya saat ini

    BalasHapus