Minggu, 29 Maret 2015

Lentera Belas Kasih

“Apa lentera penerang dalam perjalanan spiritual yang panjang?”, ini pertanyaan banyak orang. Mirip dengan pergi ke puncak gunung yang jauh, di setiap tahap pertumbuhan seseorang memerlukan kendaraan yang berbeda. Saat menyeberangi jalan tol, orang memerlukan mobil. Begitu memasuki jalan setapak, seseorang memerlukan kuda. Tatkala mendaki tebing, seorang pencari memerlukan tali.
Perjalanan spiritual yang panjang juga serupa. Nyaris semua orang di zaman ini memulai perjalanan dengan intelek. Membaca buku, berdialog, menghadiri kelas meditasi adalah sebagian dari dahaga intelek. Bahkan para sahabat yang menghabiskan banyak waktu dalam keheningan pun, masih bercakap-cakap dengan dirinya. Sekali lagi, ini lentera bernama intelek (bahasa kepala).

Ada saatnya dalam perjalanan spiritual di mana intelek seperti kehabisan tenaga untuk mendukung pertumbuhan spiritual. Di titik inilah orang menoleh kepada insting (pesan-pesan yg disembunyikan dalam tubuh kita). Bulu kuduk yang merinding, perasaan aneh memasuki sebuah tempat, merasa cepat akrab dan hormat pada seorang Guru, bahkan ada yang menangis menggigil saat berjumpa seorang Guru, adalah sebagian cara insting untuk memberi tahu.
Intelek dan insting juga bukan seluruh cerita. Tatkala keduanya sudah menunjukkan batas-batas daya bantunya, di sana seorang pencari menggali intuisi (bahasa hati). Mulai bisa melihat kalau semua mahluk adalah jiwa-jiwa menderita yang memanggil untuk ditolong, mereka ada di sini untuk membuat hati jadi indah, kadang terjadi hanya melihat kucing yang kurus saja sudah membuat mata meneteskan air mata. Inilah tanda-tanda bahasa hati.
Di tingkatan hati seperti ini, seseorang menemukan kebahagiaan dan kedamaian dengan cara banyak menolong dan melayani. Menolong seperti nutrisi jiwa. Melayani mirip dengan rumah jiwa. Ada perasaan aman dan nyaman di sana. Ini yang menjelaskan kenapa bunda Teresa menemukan kedamaian mendalam di tengah kekacauan kota kumuh Kalkuta.
Ini juga yang menjelaskan kenapa Mahatma Gandhi meninggalkan semua kemewahannya sebagai pengacara di Afrika Selatan, kemudian pulang ke India mengenakan baju kesederhanaan, berumah di rumah pelayanan. Dalam bahasa sederhana sekaligus mendalam YM Dalai Lama: “agama saya adalah kebajikan”.
Lagi-lagi harus dikemukakan, hati juga bukan lentera di sepanjang perjalanan. Ada masanya tatkala seorang pencari sudah tumbuh jauh di dunia hati, kemudian ia belajar menjadi saksi. Tangan masih melayani. Hati masih mencintai. Tapi seorang pencari mulai duduk sebagai seorang saksi. Pelayanan tidak lagi menimbulkan keakuan. Cinta tidak lagi membuat seseorang menderita. Terutama karena seorang sudah menjadi saksi.
Siapa saja yang sudah lama menghabiskan waktu menjadi saksi mengerti, ketekunan untuk terus menjadi saksi mirip dengan rahim yang akan melahirkan bayi cantik bernama belas kasih. Inilah lentera orang-orang di puncak gunung yakni lentera belas kasih.
Bukan sembarang belas kasih, melainkan belas kasih sebagai sifat alami bathin itu sendiri. Ia mirip dengan bunga indah dan pohon rindang. Sifat alami bunga indah mengundang datangnya kupu-kupu, sifat alami pohon rindang mengundang datangnya burung-burung bernyanyi. Sifat alami seorang saksi sejati, ia ada di bumi untuk melaksanakan dan memancarkan belas kasih.
Di tingkatan ini, jangankan saat meditasi, atau saat melayani, bahkan saat tidur pun seorang masih memancarkan belas kasih. Selamat datang di rumah sejati jiwa-jiwa yang indah.

GEDE PRANA.

27 komentar:

  1. setetes air dipadang tandus.................welas asih

    BalasHapus
  2. itu namanya baru grimis, mungkin awan cumulus nimbus belum padat , nanti kalo udah padat pasti akan deras , bukan setetes air lagi.brei

    BalasHapus
  3. Lebih menyegarkan setetes air di padang tandus, dibanding yang berlimpah ruah dan akhirnya membawa bencana

    BalasHapus
  4. Lebih menyegarkan setetes air di padang tandus, dibanding yang berlimpah ruah dan akhirnya membawa bencana

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya tapi kalo cuma setetes di padang tandus lama2 bisa dehidrasi brei

      Hapus
  5. sebagai penyegar dahaga.............bisa di artikan secara harafiah ataupun secara filosophy

    BalasHapus
    Balasan
    1. ooo cuma secara harafiah dan filosophy aja toh ,..tapi mungkin kalo setetes airnya satu truk kontener bruuuk..,ya bisa sebagai penyegar dahaga kalo begitu. brei.

      Hapus
  6. Kembali ke laptop bro...................welas asih bagai setetes air di padang tandus, coba njenengan tuang setetes di Yaman atau Suria

    BalasHapus
  7. Kembali ke laptop bro...................welas asih bagai setetes air di padang tandus, coba njenengan tuang setetes di Yaman atau Suria

    BalasHapus
    Balasan
    1. tuang setete belum sampai Suria sdh ketangkep ato malah modar brei , jauh2 di Indonesia aja masih banyak yg perlu setetes kok malah ke Yaman , jenengan ki piye ..

      Hapus
  8. contoh2 di indonesia sepertinya susah di fahami ...... malah nglantur, jadi contoh di LN malah masuk kan

    BalasHapus
  9. contoh2 di indonesia sepertinya susah di fahami ...... malah nglantur, jadi contoh di LN malah masuk kan

    BalasHapus
  10. ahh itu hanya pikiran mas brei saja susah memahami keadaan di indonesia , padahal lebih njelimet di luar negeri Timur tengah , rumit bingit itu.

    BalasHapus
  11. Kan njenengan seneng'e sing bau-bau LN........aku cuman mengalir saja koq

    BalasHapus
  12. Kan njenengan seneng'e sing bau-bau LN........aku cuman mengalir saja koq

    BalasHapus
  13. wong njenengan yang ngasih contoh bau- bau ke luar negeri , kalo aku contoh dalam negeri saja cukup kok. jauh amat contoh ke luar negeri.

    BalasHapus
  14. Katanya lintas negara, benua, samudra jangan cuma di RT-RW saja..................aku cuman ngikutin koq

    BalasHapus
  15. Katanya lintas negara, benua, samudra jangan cuma di RT-RW saja..................aku cuman ngikutin koq

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu kan untuk belajar saja ,kalo bisa , melihat contoh2 yang baik saja , kalo ga bisa lintas negara ya belajar di dalam negeri saja di tingkat RT /RW / Lurah /kampung/ desa , atau belajar sendiri/otodidak saja. yang penting ada internet di rumah wlaupun tinggal di gunung bs baca banyak artikel utk bahan referensi di google toh ??

      Hapus
  16. Sumber informasi itu tak terhingga asalnya, jadi tidak bisa dibatasi toh, apa lagi bagi manusia diatas usia 50 th yg sdh makan asam-garam kehidupan (tinggal berbagi) ! Di RT-RW juga bisa ditemukan koq..................saya hanya mengikuti saran/ selera njenengan........

    BalasHapus
  17. Kalo selera saya tinggal di desa yang udaranya dingin lingkungannya hijau ,saya ingin tinggal di sebelah pertapaan Rowoseneng ada kapel kecil , kalo siang udara sejuk polusinya kecil. Brei,... kalo usia sdh diatas 50th makan asam garam jangan banyak2 nanti kesehatan terganggu loh.

    BalasHapus
  18. Asam garam kehidupan (suka duka hidup kali bro) bukan secara harafiah, cape deh.........

    BalasHapus
  19. Balasan
    1. oo..... error ya ? ya harus di diagnose errornya kenapa , mungkin ada bagian yg sdh aus , atau softwarenya mungkin sdh hrs di upgrade ,...wong alat aja kalo sdh tua juga suka error..brei....

      Hapus
  20. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus