Ini adalah pidato Steve Jobs di hari wisuda di Stanford University pada tahun 2005 yang aku unduh dari youtube. Aku mengucapkan terima kasih banyak pada teman-teman sesama orang tua anak pendidikan rumah yang secara tidak langsung mempertemukan aku dengan video ini beberapa saat yang lalu. Di hari wafatnya Steve Jobs, untuk kesekian kalinya aku dengarkan lagi; kali itu lebih seksama dari yang lalu. Tidak terasa air mata tumpah seolah kehilangan mentor yang memberi banyak inspirasi.
Berikut adalah transkrip yang versi bahasa Inggrisnya aku ambil dari web berita Stanford University. Adapun terjemahan bahasa Indonesianya, aku juga sangat terbantu oleh note kawan sesama orang tua pendidikan rumah yang juga dosen di Universitas Diponegoro, Ellen Kristi.
I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I've ever gotten to a college graduation. Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories.
Sungguh merasa terhormat ada bersama kalian hari ini saat kalian diwisuda dari salah satu perguruan tertinggi terbaik di dunia. Saya tidak pernah lulus universitas. Jujur saja, ini adalah saat terdekat saya kepada wisuda univeritas. Hari ini saya ingin bercerita tentang tiga kisah dalam kehidupan saya. Itu saja. Tidak banyak. Hanya tiga kisah saja.
The first story is about connecting the dots.
Kisah pertama adalah tentang menghubungkan titik-titik.
I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?
Saya berhenti kuliah dari Reed College setelah menjalaninya pada enam bulan pertama, namun masih berada di kampus sebagai mahasiswa lepas selama sekitar delapan belas bulan lagi sebelum akhirnya betul-betul berhenti kuliah. Mengapa saya berhenti kuliah?
It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: "We have an unexpected baby boy; do you want him?" They said: "Of course." My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.
Semua bermula sebelum saya lahir. Ibu kandung saya masih muda, mahasiswi yang tidak menikah, dan memutuskan agar saya diadopsi. Dia berkeras agar saya diadopsi oleh orang tua yang lulus universitas, sehingga segalanya telah direncanakan agar saya diadopsi oleh seorang ahli hukum dan isterinya. Namun saat saya lahir, keluarga tersebut tiba-tiba menginginkan bayi perempuan. Jadilah orang tua angkat saya, yang sedang berada dalam daftar tunggu, menerima berita di tengah malam: "Ada bayi laki-laki yang tidak diduga. Kalian mau?" Orang tua saya menjawab: "Tentu saja!" Tapi ibu kandung saya kemudian tahu bahwa ibu angkat saya tidak lulus dari universitas dan bahkan ayah angkat saya tidak lulus sekolah menengah atas. Ibu kandung saya menolak untuk menandatangani dokumen adopsi akhir. Dia akhirnya menyerahkannya beberapa bulan kemudian saat orang tua angkat saya berjanji akan menyekolahkan saya ke universitas.
And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn't interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.
17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Saya dengan lugu memilih universitas yang hampir semahal Stanford, dan seluruh tabungan orang tua saya yang berasal dari kelas pekerja dihabiskan untuk uang kuliah saya. Setelah enam bulan, saya tidak menemukan kegunaan dari kuliah ini. Saat itu saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup saya dan apakah kuliah saya dapat membantu menemukan apa yang saya cari. Jadilah saya menghabiskan seluruh uang orang tua saya yang telah ditabung mereka seumur-hidup. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti dan meyakini bahwa semua akan baik-baik saja. Keadaan saat itu cukup menakutkan, tapi sekarang melihat lagi ke belakang keputusan itu adalah salah satu keputusan yang terbaik. Begitu saya berhenti kuliah artinya saya tidak lagi mengikuti perkuliahan yang tidak menarik untuk saya, dan mulai untuk mengikuti perkuliahan yang menurut saya menarik.
It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms, I returned coke bottles for the 5¢ deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:
Tidak semuanya indah. Saya tidak punya kamar di asrama sehingga saya harus tidur di lantai kamar-kamar milik kawan. Saya mengumpulkan botol-botol minuman agar punya deposit 5 sen untuk dapat membeli makan, berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam agar dapat makanan yang enak di kuil Hare Krishna. Saya menyukainya. Ada banyak hal lain yang harus saya alami saat mengikuti rasa ingin tahu dan kata hati akhirnya menjadi hal yang sangat berharga di kemudian hari. Akan saya berikan satu contoh:
Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating.
Reed College saat itu menawarkan kelas kaligrafi yang bisa jadi terbaik di seluruh negeri. Setiap poster, setiap label di setiap laci di kampus ditulis dengan indah menggunakan kaligrafi yang dibuat oleh tangan. Karena ketika itu saya sudah mengundurkan diri sebagai mahasiswa sehingga tidak harus mengambil kelas wajib, saya memutuskan untuk mengambil kelas kaligrafi agar dapat belajar bagaimana membuatnya. Saya belajar tentang huruf-huruf serif dan san serif, tentang variasi jumlah jarak di antara beragam kombinasi huruf, tentang apakah tipografi yang baik itu. Begitu indah, penuh dengan pertimbangan sejarah, indah dan artistik yang tidak dapat ditangkap oleh sains, dan saya anggap ini begitu mempesona.
None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, it's likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.
Tidak ada satu bagianpun dari pembelajaran ini dapat berguna dalam hidup saya. Namun sepuluh tahun kemudian saat kami sedang mendesain komputer Macintosh pertama, semua yang saya pelajari teringat kembali. Kami mendesainnya semua dalam rancangan Mac. Inilah komputer pertama dengan tipografi yang indah. Jika saya tidak mengikuti satu kelas itu di kampus, Mac tidak akan pernah memiliki beragam huruf dan huruf-huruf yang tertata secara proporsional jaraknya. Dan karena Windows hanya meniru Mac, bisa jadi personal komputer juga memiliki semua itu. Jika saya tidak berhenti kuliah, saya tidak akan mendaftar di kelas kaligrafi dan personal komputer mungkin saja tidak memiliki tipografi indah seperti sekarang. Tentunya mustahil 'menghubungkan titik-titik' saat kita melihat ke depan saat saya kuliah. Namun menjadi sangat sangat jelas saat menengok kembali ke belakang sepuluh tahun kemudian.
Again, you can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.
Sekali lagi, kalian tidak dapat menghubungkan titik-titik saat melihat ke depan; kalian hanya dapat menghubungkannya saat menengol ke belakang. Kalian harus percaya bahwa titik-titik tersebut entah bagaimana caranya akhirnya akan menyambung kelak di masa depan kalian. Kalian harus yakin pada sesuatu -keberanian kalian, takdir, jalan hidup, karma, apapun. Cara berpikir semacam ini tidak pernah mengecewakan saya, dan telah membuat semua perbedaan dalam hidup saya.
My second story is about love and loss.
Kisah ke dua adalah tentang cinta dan kehilangan.
I was lucky — I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation — the Macintosh — a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.
Saya beruntung - Saya menemukan pekerjaan yang aku cintai di usia muda. Saya dan Woz memulai komputer Apple di garasi rumah orang tua saya ketika berusia 20 tahun. Kami bekerja keras, dan dalam kurun waktu 10 tahun Apple tumbuh dari hanya kami berdua di garasi menjadi sebuah perusahaan senilai $2 miliard dengan lebih dari 4000 karyawan. Kami baru saja merilis karya terbaik kami - Macintosh- setahun sebelumnya, dan saya baru saja genap 30 tahun. Kemudian saya dipecat. Bagaimana mungkin seseorang dipecat dari perusahaan yang dibidaninya? Begini, sejalan dengan berkembangnya Apple kami mempekerjakan seseorang yang menurut saya sangat berbakat untuk menjalankan perusahaan bersama-sama, dan pada satu dua tahun pertama segalanya berjalan lancar. Kemudian visi kami tentang masa depan mulai bersimpangan jalan dan akhirnya kami mulai tidak sepakat. Saat kami bertengkar Dewan direksi berpihak padanya. Jadilah di usia 30 tahun saya dipecat. Dipecat secara terang-terangan. Apa yang telah menjadi fokus dari seluruh kehidupan saya tiba-tiba musnah. Sungguh menyakitkan.
I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down - that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me — I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.
Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan selama berbulan-bulan. Saya merasa telah mengecewakan generasi wirausahawan masa lalu - yang tongkat estafetnya saya jatuhkan pada saat tongkat itu diserahkan pada saya. Saya jumpai David Packard dan Bob Noyce mencoba untuk meminta maaf atas kekacauan ini. Saya adalah orang yang gagal di masyarakat, dan bahkan berpikir untuk lari dari lembah ini. Tapi sedikit demi sedikit fajar mulai menyingsing di hati saya - saya masih mencintai pekerjaan saya. Rangkaian peristiwa yang terjadi di Apple tidak merubah apapun. Saya telah dicampakkan, tapi saya masih cinta. Akhirnya saya putuskan untuk mulai lagi dari nol.
I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.
Saya tidak memahaminya saat itu, tapi dipecat dari Apple ternyata adalah kejadian yang terbaik yang pernah terjadi pada diri saya. Beban berat kesuksesan digantikan oleh keadaan tanpa beban sebagai pemula lagi, yang tidak yakin apa-apa. Hal tersebut justru membebaskan saya untuk memasuki masa-masa paling kreatif dalam hidup saya.
During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I returned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance. And Laurene and I have a wonderful family together.
Dalam kurun waktu lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, perusahaan lain bernama Pixar, dan jatuh cinta dengan perempuan luar biasa yang akhirnya menjadi istri saya. Pixar lalu membuat film cerita animasi komputer pertama di dunia, Toy Story, dan sekarang menjadi studio animasi tersukses di dunia. Lewat rangkaian peristiwa menakjubkan, Apple membeli NeXT, saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung dari kebangkitan kembali Apple saat ini. Dan Laurene dan saya membentuk keluarga yang luar biasa bahagia.
I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking. Don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don't settle.
Saya percaya bahwa semua ini tidak akan terjadi jika saya tidak dipecat dari Apple. Saat itu hal itu seperti menelan obat yang pahit, tapi saya pikir pasien perlu meminumnya. Terkadang hidup mendera kalian dengan batu bata di kepala. Jangan pernah kehilangan keyakinan. Saya yakin bahwa hal yang membuat saya maju terus karena kecintaan saya pada hal yang saya kerjakan. Kalian harus mencari apa yang kalian sukai. Selain pada pekerjaan hal ini juga berlaku pada pasangan kalian. Apa yang kalian perbuat akan mengisi bagian yang besar dalam kehidupan kalian dan satu-satunya agar benar-benar puas adalah mengerjakan pekerjaan yang luar biasa. Dan satu-satunya cara untuk mengerjakan pekerjaan yang luar biasa adalah mencintai apa yang anda kerjakan. Jika kalian belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah. Seperti segala hal yang melibatkan hati, kalian akan tahu saat menemukan yang tepat. Dan seperti kisah cinta sejati apapun -baik dengan pekerjaan maupun pasangan-, hubungan kalian akan semakin lama semakin erat dan baik sejalan waktu.
My third story is about death.
Kisah ke tiga adalah tentang kematian.
When I was 17, I read a quote that went something like: "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "No" for too many days in a row, I know I need to change something.
Saat berumur 17 tahun, saya membaca kutipan yang isinya kurang lebih: "Jika kamu menjalani hidupmu seakan-akan itu adalah hari terakhirmu, suatu saat hari itu akhirnya akan terjadi." Kutipan itu sangat berkesan untuk saya, dan sejak saat itu, sudah sekitar 33 tahun, saya selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya pada saya sendiri: "Jika hari ini adalah hari terakhirku, akankah aku kerjakana apa yang akan aku kerjakan hari ini?" Dan bila jawabannya adalah "Tidak" selama berhari-hari, artinya aku harus berubah.
Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything — all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.
Dengan menyadari bahwa saya akan segera meninggal adalah alat yang paling ampuh yang pernah saya temukan untuk membantu saya membuat pilihan-pilihan besar dalam hidup saya. Karena hampir semuanya -seluruh eksternal pengharapan, seluruh kebanggaan, selurh ketakutan akan malu atau gagal- akan tidak berarti di hadapan maut, dan hanya menyisakan apa yang betul-betul penting. Mengingat diri bahwa kalian akan meninggal adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindarkan diri dari jebakan pikiran bahwa kalian akan kehilangan sesuatu. Kalian sudah telanjang bulat. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati kalian.
About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor's code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you'd have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.
Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosa kanker. Saya menjalani scan jam 7:30 pagi, dan sangat jelas bahwa ada tumor di pankreas saya. Saya bahkan tidak tahu apa pankreas itu. Dokter mengatakan bahwa hampir pasti itu adalah jenis kanker yang tidak dapat disembuhkan, dan harapan hidup saya tidak lebih dari tiga sampai enam bulan. Dokter menyarankan pada saya untuk pulang dan membereskan segala urusan saya, yang adalah merupakan kode dari dokter bahwa saya mempersiapkan kematian. Artinya bilang pada anak-anak apapun yang seharusnya akan saya katakan dalam kurun waktu 10 tahun hanya dalam waktu beberapa bulan. Artinya saya harus memastikan bahwa semua urusan beres sehingga akan mudah bagi keluarga. Artinya saya akan mengucapkan selamat tinggal.
I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I'm fine now.
Saya dihantui oleh diagnosa itu berhari-hari. Kemudian suatu malam dilakukan biopsi pada diri saya, dimana sebuah endoskopi dimasukkan melalui kerongkongan saya, masuk ke perut saya melalui urus, kemudian jarum ditusukkan ke pankreas saya untuk lalu mengambil sel dari tumor saya. Saya dibius saat itu, namun isteri saya, yang ada disana, bercerita bahwa saat mereka meneliti sel-sel tersebut di mikroskop, para dokter berteriak karena ternyata sel tersebut adalah jenis langka dari kanker pankreas yang dapat disembuhkan lewat operasi. Saya dioperasi dan saya sekarang sehat.
This was the closest I've been to facing death, and I hope it's the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:
Saat itu adalah saat terdekat saya menghadapi kematian, dan saya berharap tidak lebih dekat lagi dalam beberapa dekade mendatang. Setelah melewatinya, dapat saya katakan pada kalian dengan bertambah keyakinan dari pada hanya sekedar bahwa kematian adalah konsep cerdas yang sangat berguna:
No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.
Tak seorangpun mau meninggal. Bahkan orang yang ingin masuk surga tidak mau meninggal untuk sampai kesana. Namun kematian adalah tujuan akhir kita semua. Tak seorangpun bisa melarikan diri dari kematian. Dan memang seharusnya begitu, karena Kematian bisa jadi adalah satu-satunya penemuan terbaik dari Kehidupan. Saat ini yang muda adalah kalian semua, namun suatu saat tidak lama dari sekarang, kalian menjadi tua dan yang akan disingkirkan. Mohon maaf jika saya terlalu dramatis, tapi ini benar adanya.
Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma — which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.
Waktu kalian terbatas, jadi jangan sia-siakan untuk hidup menjadi orang lain. Jangan terjebak oleh dogma -yang merupakan hasil dari pemikiran orang lain. Jangan biarkan keriuhan dari pendapat orang lain menenggelamkan suara hati kalian. Dan yang paling penting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi kalian. Kedua hal tersebut entah bagaimana mengetahui kalian sebenarnya hendak jadi apa. Hal lain jadi tidak terlalu penting lagi.
When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960's, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.
Saat saya muda, ada sebuah terbitan yang luar biasa bernama The Whole Earth Catalog yang bagaikan kitab suci bagi generasi saya. Terbitan tersebut dibuat oleh Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park, dan dia menghidupkan terbitan itu dengan sentuhan puitisnya. Itu terjadi di akhir 1960an, sebelum ada personal komputer dan perangkat lunak tentang penerbitan, jadi semua dibuat dengan mesin ketik, gunting, dan kamera polaroid (kamera langsung jadi). Hasilnya semacam Google dalam bentuk buku, 35 tahun sebelum Google hadir: sangat idealis, dan berlimpah perangkat keren dan gagasan luar biasa.
Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: "Stay Hungry. Stay Foolish." It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.
Stewart dan timnya menerbitkan beberapa edisi dari The Whole Earth Catalog, lalu saat mereka tidak mampu lagi, saatnya mereka menerbitkan edisi pamungkas. Saat itu pertengahan 70-an, saya saat itu seusia kalian. Di sampul belakang edisi terakhirnya ada sebuah foto di pagi hari di jalan pedesaan, tempat yang mungkin kalian telusuri jika kalian berjiwa petualang. Di bawah foto tersebut terdapat kata-kata: "Stay Hungry. Stay Foolish." "Tetaplah merasa lapar. Tetaplah merasa bodoh." Itulah pesan perpisahan sebelum mereka mengundurkan diri. Tetaplah merasa lapar. Tetaplah merasa bodoh. Dan saya selalu berharap hal itu pada diri saya sendiri. Dan sekarang, saat kalian telah lulus kuliah dan memulai kehidupan baru, sayapun mengucapkan hal yang sama pada kalian.
Stay Hungry. Stay Foolish.
Tetaplah merasa lapar. Tetaplah merasa bodoh.
Thank you all very much.
Terima kasih banyak.
Stay Hungry, Stay Foolish .................. thank you Mr. Jobes
BalasHapus