Minggu, 22 Februari 2015
Sir Ken Robinson lalu bercerita tentang Gillian Lynne
Sir Ken Robinson lalu bercerita tentang Gillian Lynne, koreografor top dunia yang turut berperan dalam Phantom of the Opera dan Cats. Waktu ia masih kecil, sekolahnya mengirim surat ke orang tuanya bahwa Gillian mungkin memiliki learning disorder (atau mungkin sekarang ADHD) karena tidak bisa berkonsentrasi di kelas. Akhirnya ia dibawa oleh ibunya ke seorang dokter spesialis.
Setelah berbincang-bincang dengan ibunya di ruang praktek dengan Gillian turut mendengarkan, dokter tersebut berkata pada Gillian bahwa ia perlu berbincang secara privat dengan ibunya dan meminta Gillian untuk menunggu di ruang praktek. Dokter dan ibunya lalu berjalan keluar. Namun sembari berjalan keluar, si dokter menyalakan radio di dalam ruang praktek. Saat dokter dan ibunya sudah keluar, dokter lalu berkata pada ibunya untuk sama-sama menunggu dan mengintip apa yang akan dilakukan Gillian di dalam ruang praktek. Ternyata Gillian langsung menari mengikuti musik!
Dokter lalu berkata pada ibunya bahwa Gillian tidak sakit, namun Gillian adalah penari. Ibunya disarankan menyekolahkan Gillian ke sekolah tari. Begitu sampai di sekolah tari, Gillian begitu terpesona karena ia melihat begitu banyak anak lain yang seperti dirinya. Anak-anak yang harus “bergerak untuk berpikir”. Gillian akhirnya menjadi penari ballet top, lalu mendirikan sekolah tari sendiri, mengkoreografi pertunjukan-pertunjukan top, dan menjadi multi milyuner.
Bayangkan ada berapa anak lain yang seperti Gillian, namun di masa kecilnya justru mereka disuruh tenang , tidak berulah dan tetap berkonsentrasi pada pelajaran di kelas sehingga di masa dewasanya tidak hidup sesuai dengan potensinya!
Harapan kita di masa depan adalah bahwa kita memandang ekologi kemanusiaan dengan perspektif baru, di mana kita harus membongkar ulang pandangan kita tentang kekayaan kapasitas manusia. Seperti kita merusak kekayaan alam hanya untuk mengeksploitasi komoditas tertentu, kita pun telah merusak kekayaan kapasitas manusia hanya menjadi komoditas.
Di masa depan, hal ini tidak akan efektif. Kita harus memikirkan ulang prinsip-prinsip dasar pendidikan anak-anak kita. Kita harus mendidik keutuhan anak-anak kita agar mereka mampu menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Kita mungkin tidak akan melihat masa depan itu, tapi anak-anak kita akan melewatinya. Tugas kita lah membantu mereka mendapat dan menciptakan manfaat dari masa depan yang akan mereka lewati itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Keponakan saya di fonis autis pada usia 2 tahun, beruntung ortunya cukup tanggap, dibawa anaknya berobat di rumah sakit anak terkemuka di jakarta pada saat itu dan dipanggilkan terapis ke rumah setiap hari untuk menstimulasi dan melatih konsentrasi sampai dia masuk sekolah taman kanak-kanak, ketika harus masuk SD banyak sekolah menolaknya begitu mengetahui riwayat penyakitnya sampai akhirnya diterima di salah satu SD swasta terkemuka yang baik hati, setelah lulus SD melanjutkan ke SMP dan SMA swasta terkemuka dan lulus dengan nilai yang baik. Pendidikan dilanjutkan ke Universitas Indonesia Fak. Ekonomi, dia sangat menikmati perkuliahan dan banyak prestasi-prestasi yang dia dapat diantaranya diterima sebagai Asisten Dosen pada smester 4 (empat), hanya 6 orang diterima dari ratusan yang mendaftar, saat ini dia diterima magang selama 2 bulan dan apabila berhasil akan dilanjutkan menjadi karyawan di Price Water Coopers House (Kantor Akuntan Publik terbesar di dunia berpusat di Inggris dimana Clien terbesar adalah di Amerika), dengan demikian asisten dosen harus ditinggalkan (hanya sebagai batu loncartan katanya) semoga Aryo selalu sukses . Aku berharap anakku mendapatkan inspirasi dan jalan keluar untuk masa depannya , buah jatuh tidak jauh dari pohonnya (ortu adalah contoh terbaik bagi anak-anaknya).
BalasHapus